Bandung, 13 Mei 2025 — Kasus kenakalan remaja di berbagai kota di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), terjadi kenaikan hingga 18% dalam laporan kasus pelanggaran yang melibatkan pelajar usia 13 hingga 18 tahun dibandingkan tahun sebelumnya.
Kasus yang paling umum meliputi tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba ringan, hingga penggunaan media sosial untuk tindakan perundungan atau cyberbullying. Beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menjadi titik rawan, terutama di wilayah padat penduduk dan kawasan pinggiran.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Dr. Hendra Gunawan, menyatakan keprihatinannya atas fenomena ini. “Kami menerima laporan dari berbagai sekolah terkait perilaku menyimpang siswa. Ada yang tertangkap membawa senjata tajam, ada juga yang terlibat dalam geng pelajar. Ini sangat memprihatinkan,” katanya dalam konferensi pers, Selasa (13/5).
Pakar psikologi remaja dari Universitas Padjadjaran, Dr. Rina Maulani, menilai bahwa faktor utama yang mendorong kenakalan remaja saat ini adalah kurangnya perhatian dan kontrol dari lingkungan keluarga serta pengaruh media digital. “Banyak anak remaja merasa kesepian, tidak didengar, lalu mencari pengakuan di luar rumah — termasuk melalui kelompok yang salah arah,” jelasnya.
Rina juga menambahkan bahwa keterpaparan pada konten kekerasan di media sosial, game online ekstrem, dan kurangnya kegiatan positif di luar sekolah turut memperburuk kondisi mental dan moral remaja. Ia menekankan pentingnya pendekatan yang tidak sekadar menghukum, tetapi juga memberi ruang untuk pembinaan dan komunikasi yang sehat antara anak dan orang dewasa.
Sementara itu, pemerintah kota Bandung telah menggandeng beberapa LSM dan komunitas pemuda untuk mengaktifkan kembali program bimbingan remaja dan kegiatan ekstrakurikuler yang lebih variatif. Di beberapa sekolah, program “Sahabat Siswa” kini diterapkan untuk memberi ruang curhat dan konseling gratis bagi pelajar yang bermasalah.
Dengan upaya bersama antara orang tua, sekolah, dan pemerintah, diharapkan angka kenakalan remaja dapat ditekan. Namun demikian, para ahli mengingatkan bahwa pendekatan harus berkelanjutan, bukan hanya bersifat reaktif saat terjadi kasus besar.