Stunting, atau kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis, menjadi salah satu masalah kesehatan serius di Indonesia. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional mencapai 19,8%, yang setara dengan sekitar 4,48 juta balita. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 21,5% .
Namun, meskipun ada penurunan, angka tersebut masih jauh dari target pemerintah untuk mencapai prevalensi stunting di bawah 14% pada tahun 2024. Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya penurunan stunting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, karena dampak stunting tidak hanya pada fisik, tetapi juga pada kemampuan kognitif dan kesehatan jangka panjang anak .
Penyebab utama stunting di Indonesia meliputi kurangnya asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, infeksi berulang, sanitasi yang buruk, dan pola asuh yang tidak optimal. Kelompok ekonomi termiskin, dengan prevalensi stunting mencapai 29,8%, menjadi kelompok yang paling rentan .
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik mencakup pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil, peningkatan konsultasi kehamilan, pemberian makanan pendamping ASI kaya protein hewani, dan imunisasi dasar lengkap. Sementara itu, intervensi sensitif melibatkan sektor lain seperti penyediaan air bersih, peningkatan akses pangan, dan perbaikan sanitasi .
Selain itu, pemerintah juga meluncurkan program Makanan Bergizi Gratis yang menyediakan makanan bergizi bagi hampir 90 juta anak dan ibu hamil untuk mengatasi masalah malnutrisi dan stunting. Program ini dijadwalkan berlangsung hingga 2029 dengan anggaran sekitar $28 miliar .
Meskipun tantangan besar masih ada, penurunan prevalensi stunting menunjukkan bahwa upaya bersama dapat membuahkan hasil. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat penting untuk mencapai Indonesia bebas stunting di masa depan.