Jakarta, 13 Mei 2025 — Di balik stereotip sebagai generasi paling melek teknologi, Gen Z—mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—sedang menghadapi tantangan besar yang jarang disorot: krisis identitas. Di tengah derasnya arus informasi, tekanan sosial media, dan tuntutan akan pencapaian diri sejak usia muda, banyak dari mereka merasa kehilangan arah dan jati diri yang otentik.
Hidup dalam Dunia Serba Instan
Gen Z tumbuh dalam dunia digital yang serba cepat. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube bukan hanya menjadi hiburan, tetapi juga sumber validasi diri. “Banyak anak muda hari ini merasa harus selalu tampil sempurna, sukses, dan produktif di usia yang sangat muda,” ujar Dr. Livia Hendra, psikolog klinis dari Universitas Indonesia. “Mereka cenderung membandingkan hidupnya dengan orang lain secara terus-menerus, dan ini menimbulkan tekanan besar.”
Banyak Peran, Banyak Kebingungan
Krisis identitas muncul ketika seseorang bingung mengenai siapa dirinya sebenarnya—nilai, minat, hingga tujuan hidupnya. Gen Z kerap merasa ditarik ke berbagai arah: menjadi konten kreator, aktivis lingkungan, wirausahawan muda, hingga pelajar berprestasi, semuanya dalam waktu bersamaan. Akibatnya, banyak yang merasa lelah dan kehilangan makna dari apa yang mereka lakukan.
Salah satu mahasiswa berusia 20 tahun, Aulia, mengungkapkan kegelisahannya. “Saya sering merasa harus punya ‘personal branding’ di media sosial. Tapi kadang saya sendiri bingung, apa itu benar-benar saya, atau hanya citra yang saya bentuk agar diterima?”
Dampak Kesehatan Mental
Fenomena ini tidak lepas dari dampak psikologis. Data dari WHO menunjukkan lonjakan signifikan pada gangguan kecemasan dan depresi di kalangan remaja pasca-pandemi COVID-19. Gen Z menjadi salah satu kelompok yang paling rentan. “Mereka tahu terlalu banyak, terlalu cepat, dan itu membuat mereka mudah kewalahan,” kata Dr. Livia.
Solusi: Ruang Aman dan Edukasi Emosional
Pakar menyarankan perlunya ruang aman dan pendekatan edukasi emosional sejak dini. Sekolah dan keluarga diharapkan tidak hanya menekankan capaian akademik, tapi juga mendukung eksplorasi jati diri anak muda. Selain itu, penting untuk mengajarkan literasi digital agar Gen Z dapat lebih bijak menghadapi tekanan dunia maya.
“Gen Z punya potensi besar. Tapi mereka butuh waktu dan ruang untuk mengenal siapa diri mereka sebenarnya, tanpa harus terburu-buru menjadi versi ‘ideal’ yang dilihat di internet,” tutup Dr. Livia.
Penutup:
Di tengah hiruk pikuk dunia digital, krisis identitas pada Gen Z menjadi isu penting yang harus disorot. Dibalik unggahan penuh warna di media sosial, ada anak-anak muda yang sedang mencari tahu: siapa mereka, sebenarnya?