Dalam beberapa tahun terakhir, perfilman Indonesia menunjukkan kebangkitan yang luar biasa hingga mendapat sorotan di kancah global. Sejumlah film lokal seperti Penyalin Cahaya, Agak Laen, KKN di Desa Penari, Jumbo, hingga Pengepungan di Bukit Duri—yang menjadi film pertama Indonesia diproduksi oleh studio internasional Amazon MGM Studios—menjadi bukti kemajuan tersebut. Tak hanya mendominasi layar bioskop, film-film ini turut berperan dalam transformasi industri kreatif nasional.
Di balik keberhasilan ini, terdapat dinamika ekonomi yang kompleks dan berpengaruh langsung pada pertumbuhan nasional. Proses produksi film melibatkan berbagai sektor, mulai dari tahap praproduksi hingga distribusi, yang menciptakan efek domino ekonomi.
Satu film panjang bisa melibatkan ratusan hingga ribuan pekerja dari berbagai bidang, termasuk kru produksi, aktor, pelaku UMKM katering, hingga layanan transportasi. Industri film menjadi motor penciptaan lapangan kerja sekaligus kontributor penting dalam sektor ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ekonomi kreatif menyumbang lebih dari Rp1.300 triliun terhadap PDB nasional pada 2023, dengan subsektor film menjadi salah satu yang pertumbuhannya paling pesat. Lonjakan jumlah film lokal dan tingginya animo masyarakat terhadap konten buatan dalam negeri menjadi pendorong utama.
Kemajuan teknologi digital turut memperluas jangkauan pasar film Indonesia. Kehadiran platform over-the-top (OTT) seperti Netflix, Prime Video, Vidio, dan Disney+ memberikan ruang bagi sineas lokal untuk memperkenalkan karya mereka ke audiens global.
Bagi para pembuat film, platform OTT bukan hanya sarana distribusi, tetapi juga membuka jalur monetisasi baru, peluang kolaborasi lintas negara, serta meningkatkan daya saing film Indonesia di mata dunia dan investor asing.
Dampak sinema juga terasa hingga sektor pariwisata dan pelaku UMKM. Misalnya, kesuksesan Laskar Pelangi mendorong peningkatan wisata ke Belitung. Film KKN di Desa Penari menarik perhatian ke Banyuwangi, sementara serial Gadis Kretek memperkenalkan budaya dan sejarah rokok kretek dari Kudus ke dunia. Fenomena ini dikenal sebagai “film-induced tourism”, di mana lokasi syuting menjadi destinasi wisata baru, yang turut menghidupkan ekonomi lokal melalui penginapan, kuliner, transportasi, hingga produk kerajinan.
Ketika film Indonesia menembus pasar internasional atau tampil di festival besar seperti Cannes, Berlinale, atau TIFF, produk budaya kita berubah menjadi komoditas ekspor. Ini tak hanya membangun citra positif Indonesia di mata dunia, tapi juga membuka peluang investasi baru.
Kini, sejumlah rumah produksi lokal mulai menjalin kerja sama dengan studio internasional, baik dalam hal pendanaan maupun distribusi. Kolaborasi ini menjadi pintu masuk investasi langsung asing (FDI) ke Indonesia, yang memperkuat sektor kreatif sebagai motor penggerak ekonomi baru.
Perubahan pola konsumsi penonton juga menjadi faktor penting. Masyarakat kini tak lagi sekadar mencari hiburan, tetapi juga mengapresiasi narasi yang kuat, ragam tema, serta kualitas produksi yang tinggi.
Kesadaran ini mendorong para sineas untuk terus berinovasi dan menghasilkan karya yang kompetitif. Genre seperti horor artistik, drama keluarga, film dokumenter, hingga fiksi ilmiah kini semakin mendapat tempat di bioskop maupun platform digital, mencerminkan pasar yang kian matang dan terbuka terhadap karya lokal berkualitas.
Perkembangan film Indonesia bukan hanya capaian budaya, tetapi juga fenomena ekonomi yang berdampak luas. Film telah menjadi pemicu penciptaan lapangan kerja, promosi destinasi, peningkatan konsumsi, dan sumber devisa dari pasar internasional.
Bagi pelaku bisnis dan investor, saat ini adalah momentum yang tepat untuk melihat industri perfilman sebagai sektor ekonomi strategis dengan nilai tambah tinggi dan masa depan yang menjanjikan.
Kebangkitan sinema Indonesia baru dimulai, dan potensinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sangat besar.